Islam Dimata Muallaf

I.  PERJALANANKU MENUJU ISLAM
                            From: " The Seafaring Beggar  & Other Tales "
                                     By:  Yahiya Emerick  & Reshma Baigs

      
S
aya terlahir dari sebuah keluarga  Amerika yang lazimnya tak terlalu taat beragama. Semasa kecil mendapat pendidikan disekolah umum biasa. Masa kanak-kanakku tak ada yang istimewa. Agama dikenalkan oleh nenek kepadaku. Ia memastikan aku pergi kekebaktian gereja Baptis setiap minggu pagi. Ini berlansung sejak aku berusia 7 sampai dengan 16 tahun.  Ketika nenek meninggal, kebiasaan ini tak diteruskan lagi oleh orang tuaku.


     Saya menyukai kisah-kisah nabi yang diajarkan digereja, dan saya setuju dengan ajaran etika moral. Tapi ideologi agama  agak samar bagi saya untuk diambil sebagai pegangan. Selain  itu saya tak melihat arah yang jelas didalam kristiani. Yang saya maksudkan ialah, selain tuntunan etika yang baik  saya tak melihat apa sesungguhnya yang bisa ditawarkan oleh oleh Kristiani sebagai jalan keluar.  Jalan keluar dari suatu masalah menuntut suatu tuntunan yang terumus dengan jelas yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah disegala lini kehidupan, apakah ditingkat perorangan, masalah kehidupan bertetangga, masalah dalam kehidupan bermasyrakat,  termasuk masalah dalam kehidupan bernegara.


     Agama yang ditemukan oleh para pendahulu Yahudi, pendahulu Yunani, Romawi, tak memiliki landasan yang kokoh guna memilah mana kebenaran  dan mana yang tidak benar. Tidak ada tuntunan buat seseorang untuk menjalani hidup keseharian, serta program untuk menghadapi  berbagai perubahan yang bisa terjadi atas diri seseorang. Namun kesemuanya tersebut pada saat itu belum jadi alasan yang cukup bagi saya   untuk memutuskan memilih yang lain.  Saya masih merasa nyaman dengan dengan ajaran Baptis.   


      Lalu kemudian pada suatu hari  penyampai mengatakan sesuatu yang membuat kepala saya berputar.  Dia mengutarakannya dengan bahasa yang jelas bahwa Yesus adalah Tuhan.  Saya belum pernah mendengar hal itu selama 10 tahun terakhir kebaktian.  Yang saya dengar adalah Ia adalah hamba Tuhan, seorang putra Tuhan, tapi bukan Tuhan.  Selama berbulan-bulan setelah itu saya mencoba menenangkan otak: “Bagaimana mungkin ia bisa menjadi anak Tuhan dan kemudian menjadi Tuhan pada saat yang bersamaan?”   Bagaimana bisa seorang yang hilir mudik dipermukaan bumi  bisa menjadi penguasa alam yang luasnya milyaran tahun cahaya. Bagaimana Tuhan bisa meninggal sebelum ia sempat mengampuni dosa manusia. (Kristiani mengajarkan bahwa Yesus harus meninggal sebelum Tuhan mengampuni dosa manusia).  Apakah Tuhan turun kebumi lalu ditengah-tengah peyebaran dan sedang mempertunjukan kasih sayangnya  mendadak bunuh diri?  Jika Tuhan terdiri dari tiga unsur,  lalu unsur Tuhan yang mana yang sesungguhnya yang berkuasa.
       
Ketika krisis keyakinan ini berlansung saya berusia lebih kurang 15 tahun.  Tapi bayangan ini masih segar seolah saya berada ditengah-tengah suasana itu.  Ini adalah salah satu dari dua kejadian yang penting dalam kehidupanku  Merasa kecewa, saya mencoba mempelajari ajaran Zen dan Taosim. Ternyata semacam ajaran filsafah saja, bukan tuntunan hidup praktis.            


Peristiwa lain  yang saya anggap cukup penting adalah ketika saya memasuki perguruan tinggi setelah menyelesaikan sekolah menengah.  Nabil, sahabatku sedari kecil  yang memeluk Islam hingga saat itu, tapi  tidak pernah mempraktekannya sebagaimana mestinya,  menghadiahkan saya sebuah AlQuran.   Kami sering berdebat tentang keyakinan agama  siapa yang paling sempurna, meskipun tak seorangpun dari kami mengenal  agama masing-masing dengan baik. Sebagai  anak-anak memang dapat dimengerti .  Dari pengalaman tersebut  saya berjanji suatu hari akan mempelajari AlQuran.  Nabil kemudian mulai bersungguh dengan keIslamannya , sedangkan saya  merasa tak ada  salahnya   memiliki buku misterius itu.  Dengan menjaga  secara hati-hati disekolah,  saya mulai mencoba membedah buku misteri tersebut.  

    Apa yang saya baca  memberikan dampak yang sama luar biasanya  dengan apa yang saya terima dari pendeta sebelumnya sebelumnya. Akan Tetapi kali ini saya sungguh kaget  secara positif. Akhirnya saya menemukan jawaban yang sesungguhnya atas sejumlah pertanyaan yang menggayut dikepala saya selama ini.  Misalnya jawaban atas pertanyaan:  “ Mengapa banyak sekali agama “, “Apakah agama-agama lainnya itu penemuan iblis?” ,  “ Apakah tujuan manusia sesungguhnya” ? Jika Tuhan penguasa alam yang sesungguhnya mengapa aturan-aturanNya  tak bisa berkutik diranah politik” , “Apakah yang terjadi dengan seseorang bila ia  meninggal”?

     AlQuran menjelaskan secara  jelas dengan cara yang masuk akal.  Saya betul-betul  terkejut.  Adapun salah satu pertanyaan dari sejumlah pertanyaan yang muncul adalah: “Mengapa saya tak  pernah melihat buku semacam ini sebelumnya”?  Siapa yang telah menyembunyikannya  dari saya”? Lalu saya menyerbu perpustakaan fakultas  mencari  sejumlah literatur tentang Islam.  Kemudian saya memutuskan mengambil kelas bahasa Arab.  Una, seorang muslimah  berkebangsaan Irlandia  yang saya kenal di kelas bahasa Arab memperkenalkan saya dengan seseorang dari Yordania. Dia bersedia mengajak saya berkunjung ke sebuah mesjid.  Disitulah hatiku mulai terpikat.
   
     Hari itu adalah hari Jum’at, hari yang tersibuk dari sekian hari dalam seminggu.  Sedikit rasa gugup  menyelip dalam diriku ketika kaki melangkah masuk. Saudara Musa membaca kegelisahanku.  Ia menarik lenganku menuju ruangan kantor lalu memperlihatkan padaku bagaimana cara shalat. Mulanya terasa aneh ketika melakukan gerakan sujud kelantai, tapi pelan-pelan  berubah menjadi suatu sikap yang wajar dalam menghormati keagungan Sang Pencipta.
    
     Selanjutnya, shalat Jumat berlansung. Ketika para jemaah yang hadir secara serentak  mengucapkan “Amiin” sehabis  pembacaan surah AlFatihah,  dada saya  tergetar. “ Kekuatan apakah itu? “  itu muncul setelah menumpahkan semua unek-unek kepada Allah.

    Saya mulai  tergerak   kearah Islam sejak beberapa bulan yang lalu, namun tak tahu bagaimana caranya menindak lanjuti.  Tak ada seruan dakwah dilingkungan kampus, juga tidak ada nomor tilpon yang bisa dihubungi. Tetapi ketika Musa mengajakku ke Islamic Center pada tahu1988, disitulah saya saya menyadari bahwa saya telah menemukan arah. Perjalananku menuju kepercayaan telah berakhir, lembaran baru kehidupan telah terbuka.







      II.   PERJALANANKU MENUJU ISLAM
                                                                Oleh :  Hajjah Irena Handoko


        Aku dibesarkan dalam keluarga yang religius. Ayah dan ibuku merupakan pemeluk Katholik yang taat. Sejak bayi aku sudah dibabtis, dan sekolah seperti anak-anak lain. Aku juga manicotti curses agama secara privat.

      Ketika remaja aku aktif di organisasi gereja. Sejak masa kanak-kanak, aku sudah termotivasi untuk masuk biara. Bagi orang Katholik, hidup membiara adalah hidup yang paling mulia, karena pengabdian total seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan. Semakin aku besar, keinginan itu sedemikian kuatnya, sehingga menjadi biarawati  adalah tujuan satu-satunya dalam hidupku.

       Kehidupanku nyaris sempurna, aku terlahir dari keluarga yang kaya raya, kalau diukur dari materi. Rumahku luasnya 1000 meter persegi. Bayangkan, betapa besarnya. Kami berasal dari etnis Tionghoa. Ayahku adalah seorang pengusaha terkenal di Surabaya, beliau merupakan salah satu donatur terbesar gereja di Indonesia. Aku anak kelima dan perempuan satu-satunya dari lima bersaudara.

         Aku amat berserker karena dianugrahi banyak kelebihan. Selain materi, kecerdasanku cukup lumayan. Prestasi akademikku selalu memuaskan. Aku pernah terpilih sebagai ketua termuda pada salah satu organisasi gereja.

      Ketika remaja aku layaknya remaja pada umumnya, punya banyak teman, aku dicintai oleh mereka, bahkan aku menjadi favorit bagi kawan-kawanku. Intinya, masa mudaku kuhabiskan dengan penuh kesan, bermakna, dan indah.

        Namun demikian aku tidak larut dalam semaraknya pergaulan muda-mudi, walalupun semua fasilitas untuk hura-hura bahkan foya-foya ada. Keinginan untuk menjadi biarawati tetap kuat. Ketika aku lulus SMU, aku memutuskan untuk mengikuti panggilan Tuhan itu. Tentu saja orang tuaku terkejut. Berat bagi mereka untuk membiarkan anak gadisnya hidup terpisah dengan mereka. Sebagai pemeluk  Katholik yang taat, mereka akhirnya mengikhlaskannya. Sebaliknya dengan kakak-kakaku, mereka justru bangga punya adik yang masuk biarawati.

       Tidak ada kesulitan ketika aku melangkah ke biara, justru kemudahan yang kurasakan. Dari banyak biarawati, hanya ada dua orang biara yang diberi tugas ganda. Yaitu kuliah di biara dan kuliah di Instituit Filsafat Teologia, seperti seminari yang merupakan pendidikan akhir pastur.

      Salah satu dari biarawati yang diberi keistimewaan itu adalah saya. Dalam usia 19 tahun Aku harus menekuni dua pendidikan sekaligus, yakni pendidikan di biara, dan di seminari, dimana aku mengambil Fakultas Comparative Religion, Jurusan Islamologi.Di tempat inilah untuk pertama kali aku mengenal Islam. Di awal kuliah, dosen memberi pengantar bahwa agama yang terbaik adalah agama kami  sedangkan agama lain itu tidak baik. Beliau mengatakan, Islam itu jelek.

        Di Indonesia yang melarat itu siapa?, Yang bodoh siapa? Yang kumuh siapa? Yang tinggal di bantaran sungai siapa? Yang kehilangan sandal setiap hari jumat siapa? Yang berselisih paham tidak bisa bersatu itu siapa? Yang jadi teroris siapa? Semua menunjuk pada Islam. Jadi Islam itu jelek.

       Aku mengatakan kesimpulan itu perlu diuji, kita lihat negara-negara lain, Philiphina, Meksiko, Itali, Irlandia, negara-negara yang mayoritas kristiani itu tak kalah amburadulnya. Aku juga mencontohkan negara-negara penjajah seperti terbentuknya negara Amerika dan Australia, sampai terbentuknya negara Yahudi Israel itu, mereka dari dulu tidak punya wilayah, lalu merampok negara Palestina. Jadi tidak terbukti kalau Islam itu symbol keburukan. Aku jadi tertarik mempelajari masalah ini. Solusinya, aku minta ijin kepada pastur untuk mempelajari Islam dari  sumbernya sendiri, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Usulan itu diterima, tapi dengan catatan, aku harus mencari kelemahan Islam.


Kebenaran surat Al Ikhlas 

       Ketika pertama kali memegang kitab suci al-Qur'an, aku bingung. Kitab ini, mana yang depan, mana yang belakang, mana atas mana bawah. Kemudian aku amati bentuk hurufnya, aku semakin bingung. Bentuknya panjang-panjang, bulat-bulat, akhirnya aku ambil jalan pintas, aku harus mempelajari dari terjemah. Ketika aku pelajari dari terjemahan, karena aku tak mengerti bahwa membaca al-Quran dimulai dari kiri, aku justru terbalik dengan membukanya dari kanan. Yang pertama kali aku  pandang, adalah surat Al Ihlas.  Aku membacanya, bagus surat al-Ikhlas ini, pujiku. Suara hatiku membenarkan bahwa Allah itu Ahad, Allah itu satu, Allah tidak beranak, tidak diperanakkan dan tidak sesuatu pun yang menyamai Dia. "Ini 'kok bagus, dan bisa diterima!" pujiku lagi.

      Pagi harinya, saat kuliah teologia, dosen saya mengatakan, bahwa Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan dalam satu, satu Tuhan dalam tiga, ini yang dinamakan trinitas, atau tritunggal.

      Malamnya, ada yang mendorong diriku untuk mengaji lagi surat Al-Ihklas. "Allahhu ahad, ini yang benar," putusku pada akhirnya. Maka hari berikutnya terjadi dialog  antara saya dan dosen-dosen saya. Aku katakana, "Pastur (Pastur), saya belum  paham hakekat Tuhan."
"Yang mana yang Anda belum paham?" tanya Pastur.  Dia maju ke papan tulis  sambil menggambar segitiga sama sisi, AB=BC=CA. Aku dijelaskan, segitiganya satu, sisinya tiga, berarti tuhan itu satu tapi pribadinya tiga. Tuhan Bapak sama kuasanya dengan Tuhan Putra sama dengan kuasanya Tuhan Roh Kudus. Demikian Pastur menjelaskan  "Kalau demikian, suatu saat nanti kalau dunia ini sudah moderen, iptek semakin canggih, Tuhan kalau hanya punya tiga pribadi, tidak akan mampu untuk mengelola dunia ini. Harus ada penambahnya menjadi empat pribadi," tanyaku lebih mendalam. Dosen menjawab, "Tidak bisa!" 

       Aku jawab bisa saja, kemudian aku maju ke papan tulis. Saya gambar bujur sangkar. Kalau dosen saya mengatakan Tuhan itu tiga dengan gambar segitiga sama sisi, sekarang saya gambar bujur sangkar. Dengan demikian, bias saja saya simpulkan kalau tuhan itu pribadinya empat.
Pastur bilang, tidak boleh. 

      Mengapa tidak boleh? Tanya saya semakin tak mengerti.   "Ini dogma, yaitu aturan yang dibuat oleh para pemimpin gereja!" tegas Pastur.   Aku katakan, kalau aku belum paham dengan dogma itu bagaimana?   "Ya terima saja, telan saja. Kalau Anda ragu-ragu, hukumnya dosa!" tegas Pastur mengakhiri. 

       Walau pun dijawab demikian, malam hari ada kekuatan yang mendorong saya untuk kembali mempelajari surat Al-Ikhlas. Ini terus berkelanjutan, sampai akhirnya aku bertanya kepada Pastur, "Siapa yang membuat mimbar, membuat kursi, meja?" Dia tidak mau jawab.  "Coba Anda jawab!" Pastur balik bertanya. Dia mulai curiga. Aku jawab, itu semua yang buat tukang kayu.  "Lalu kenapa?" tanya Pastur lagi. 

      "Menurut saya, semua barang itu walaupun dibuat setahun lalu, sampai seratus tahun kemudian tetap kayu, tetap meja, tetap kursi. Tidak ada satu pun yang membuat mereka berubah jadi tukang kayu," saya mencoba menjelaskan. "Apa maksud Anda?" Tanya Pastur penasaran. 
  
     Aku kemudian memaparkan, bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dan seluas isinya termasuk manusia. Dan manusia yang diciptakan seratus tahun lalu sampai seratus tahun kemudian, sampai kiamat tetap saja manusia, manusia tidak mampu mengubah dirinya menjadi Tuhan, dan Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan manusia.

     Malamnya, kembali kukaji surat Al-Ikhlas. Hari berikutnya, aku bertanya kepada Pastur,  
"Siapa yang melantik RW?" Saya ditertawakan. Mereka pikir, ini 'kok ada suster yang tidak tahu siapa yang melantik RW?. "Sebetulnya saya tahu," ucapku.  "Kalau Anda tahu, mengapa Anda Tanya?  Coba jelaskan!" tantang mereka.   "Menurut saya, yang melantik RW itu pasti eselon di atasnya, lurah atau kepala desa. Kalau sampai ada RW dilantik RT jelas pelantikan itu tidak syah."   "Apa maksud Anda?" Mereka semakin tak mengerti. 

    Saya mencoba menguraikan, "Menurut pendapat saya, Tuhan itu menciptakan alam semesta dan seluruh isinya termasuk manusia. Manusia itu hakekatnya sebagai hamba Tuhan. Maka kalau ada manusia melantik sesama manusia untuk menjadi Tuhan, jelas pelantikan itu tidak syah."

       Keluar dari Biara malam berikutnya, saya kembali mengkaji surat al-Ikhlas.  Kembali terjadi dialog-dialog, sampai akhirnya saya bertanya mengenai sejarah gereja.   Menurut semua literratur yang saya pelajari, dan kuliah yang saya terima, Yesus untuk pertama kali disebut dengan sebutan Tuhan, dia dilantik menjadi Tuhan pada tahun 325 Masehi. Jadi, sebelum itu ia belum menjadi Tuhan, dan yang melantiknya sebagai Tuhan adalah Kaisar Constantien, kaisar romawi.

      Pelantikannya terjadi dalam sebuah conseni (konferensi atau muktamar) di kota Nizea. Untuk pertama kali Yesus berpredikat sebagai Tuhan. Maka silahkan umat kristen di seluruh dunia ini, silahkan mencari cukup satu ayat saja dalam injil, baik Matius, Markus, Lukas, Yohanes, mana ada satu kalimat Yesus yang mengatakan 'Aku Tuhanmu'? Tidak pernah ada.

      Mereka kaget sekali dan mengaggap saya sebagai biarawati yang kritis. Dan sampai pada pertemua berikutnya, dalam Al-Quran yang saya pelajari, ternyata saya tidak mampu menemukan kelemahan al-Qur'an. Bahkan, saya yakin tidak ada manusia yang mampu.
Kebiasaan mengkaji al-Qur'an tetap saya teruskan, sampai saya berkesimpulan bahwa agama yang hak itu cuma satu, Islam. Subhanaallah.

      Saya mengambil keputusan besar, keluar dari biara. Itu melalui proses berbagai pertimbangan dan perenungan yang dalam, termasuk melalui surat dan ayat. Bahkan, saya sendiri mengenal sosok Maryam yang sesungguhnya dari Al-Qur'an surat Maryam. Padahal, dalam doktrin Katholik, Maryam menjadi tempat yang sangat istimewa. Nyaris tidak ada doa tanpa melalui perantaranya. Anehnya, tidak ada Injil Maryam.

      Jadi saya keluar dengan keyakinan bahwa Islam agama Allah. Tapi masih panjang, tidak hari itu saya bersyahadat. Enam tahun kemudian aku baru mengucapkan dua kalimah syahadat.

      Selama enam tahun, saya bergelut untuk mencari. Saya diterpa dengan berbagai macam persoalan, baik yang sedih, senang, suka dan duka. Sedih, karena saya harus meninggalkan keluarga saya. Reaksi dari orang tua tentu bingung bercampur sedih. Sekeluarnya dari biara, aku melanjutkan kuliah ke Universitas Atmajaya. Kemudian aku menikah dengan orang Katholik. Harapanku dengan menikah adalah, aku tidak lagi terusik oleh pencarian agama. Aku berpikir, kalau sudah menikah, ya selesai!

     Ternyata diskusi itu tetap berjalan, apalagi suamiku adalah aktifis mahasiswa. Begitu pun dengan diriku, kami kerap kali berdiskusi. Setiap kali kami diskusi, selalu berakhir dengan pertengkaran, karena kalau aku mulai bicara tentang Islam, dia menyudutkan. Padahal, aku tidak suka sesuatu dihujat tanpa alasan. Ketika dia  menyudutkan, aku akan membelanya, maka jurang pemisah itu semakin membesar, sampai pada klimaksnya.

    Aku berkesimpulan kehidupan rumah tangga seperti ini, tidak bisa berlanjut, dan tidak mungkin bertahan lama. Aku mulai belajar melalui ustadz. Aku mulai mencari ustadz, karena sebelumnya aku hanya belajar Islam dari buku semua. Alhamdulillah Allah mempertemukan saya dengan ustadz yang bagus, diantaranya adalah Kyai Haji Misbah (alm.). Beliau ketua MUI Jawa Timur periode yang lalu.

    Aku beberapa kali berkonsultasi dan mengemukakan niat untuk masuk Islam. Tiga kali ia menjawab dengan jawaban yang sama, "Masuk Islam itu gampang, tapi apakah Anda sudah siap dengan konsekwensinya?"  "Siap!" jawabku.  "Apakah Anda tahu konsekwensinya?" tanya beliau.   "Pernikahan saya!" tegasku. Aku menyadari keinginanku masuk Islam semakin kuat.   "Kenapa dengan dengan perkawinan Anda, mana yang Anda pilih?" Tanya beliau lagi.   "Islam" jawabku tegas. 

     Akhirnya rahmat Allah datang kepadaku. Aku kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat di depan beliau. Waktu itu tahun 1983, usiaku 26 tahun.   Setelah resmi memeluk Islam, aku mengurus perceraianku, karena suamiku tetap pada agamanya. Pernikahanku telah berlangsung selama lima tahun, dan telah dikaruniai tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki.
Alhamdulillah, saat ini mereka telah menjadi muslim dan muslimah. 


Shalat pertama kali 

      Setelah aku mengucapkan syahadat, aku tahu persis posisiku sebagai seorang muslimah harus bagaimana.  Satu hari sebelum ramadhan tahun dimana aku berikrar, aku langsung melaksanakan shalat. 

Pada saat itulah, salah seorang kakak mencari saya. Rumah cukup besar. Banyak kamar terdapat didalamnya. Kakakku berteriak mencariku. Ia kemudian membuka kamarku. Ia terkejut, 'kok ada perempuan shalat? Ia pikir ada orang lain yang sedang shalat. Akhirnya ia menutup pintu.

       Hari berikutnya, kakakku yang lain kembali mencariku. Ia menyaksikan bahwa yang sedang shalat itu aku. Selesai shalat, aku tidak mau lagi menyembunyikan agama baruku yang selama ini kututupi. Kakakku terkejut luar biasa. Ia tidak menyangka adiknya sendiri yang sedang shalat. Ia tidak bisa bicara, hanya wajahnya seketika merah dan pucat. Sejak saat itulah terjadi keretakan diantara kami.

Agama baruku yang kupilih tak dapat diterima. Akhirnya aku meninggalkan rumah. Aku mengontrak sebuah rumah sederhana di Kota Surabaya. Sebagai anak perempuan satu-satunya, tentu ibuku tak mau kehilangan. Beliau tetap datang menjenguk sesekali. Enam tahun kemudian ibu meninggal dunia. Setelah ibu saya meninggal, tidak ada kontak lagi dengan ayah atau anggota keluarga yang lain sampai sekarang.

      Aku bukannya tak mau berdakwah kepada keluargaku, khususnya ibuku. Walaupun ibu tidak senang, ketegangan-ketegangan akhirnya terjadi terus. Islam, baginya identik dengan hal-hal negatif yang saya contohkan di atas. Pendapat ibu sudah terpola, apalagi usia ibu sudah lanjut.

Tahun 1992 aku menunaikan rukun Islam yang kelima. Alhamdulillah aku diberikan rejeki sehingga bisa menunaikan ibadah haji. Selama masuk Islam sampai pergi haji, aku selalu menggerutu kepada Allah,  "kalau Engkau, ya Allah, menakdirkanku menjadi seorang yang mukminah,  mengapa Engkau tidak menakdirkan saya menjadi anak orang Islam, punya bapak Islam, dan ibu orang Islam, sama seperti saudara-saudaraku muslim yang  kebanyakan itu. Dengan begitu, saya tidak perlu banyak penderitan. Mengapa jalan hidup saya harus berliku-liku seperti ini?" ungkapku sedikit kesal.

Di Masjidil-Haram, aku bersungkur mohon ampun, dilanjutkan dengan sujud syukur. Alhamdulillah aku mendapat petunjuk dengan perjalan hidupku seperti ini. Aku merasakan nikmat iman dan nikmat Islam. Padahal, orang Islam yang sudah Islam tujuh turunan belum tentu merasakan kelezatan  iman dan Islam.

Islam adalah agama hidayah, agama hak.  Islam agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Manusia itu oleh Allah diberi akal, budi, diberi emosi, rasio. Agama Islam adalah agama untuk orang yang berakal, semakin dalam daya analisis kita, insyaAllah, Allah akan memberi. Firman Allah,

"Apakah sama orang yang tahu dan tidak tahu?"  Sepulang haji, hatiku semakin terbuka dengan Islam, atas kehendak-Nya pula aku kemudian diberi kemudahan dalam belajar agama tauhid ini.
Alhamdulillah tidak banyak kesulitan bagiku untuk belajar membaca kitab-kitab. Allah memberi kekuatan kepadaku untuk bicara dan berdakwah. Aku begitu lancar dan banyak diundang untuk berceramah. Tak hanya di Surabaya, aku kerap kali diundang berdakwah di Jakarta.

Begitu banyak yang Allah karuniakan kepadaku, termasuk jodoh, melalui pertemuan yang Islami, aku dilamar seorang ulama. Beliau adalah Masruchin Yusufi, duda lima anak yang isterinya telah meninggal dunia. Kini kami berdua sama-sama aktif berdakwah sampai ke pelosok desa. Terjun di bidang dakwah tantangannya luar biasa.  Alhamdulillah, dalam diri ini terus menekankan bahwa hidupku, matiku hanya karena Allah.




   
Read more! Selengkapnya...

No comments: